Contoh
Kasus Etika Profesional
Frank Dorrance, seorang manajer
audit senior untuk Bright and Lorren,CPA baru saja diinformasikan bahwa
perusahaan berencana untuk mempromosikannya menjadi rekanan pada 1 atau 2 tahun
ke depan bila ia terus memperlihatkan tingkat mutu yang tinggi sama seperti
masa sebelumnya. Baru saja Frank ditugaskan untuk mengaudit Machine
International sebuah perusahaan grosir besar yang mengirimkan barang keseluruh
dunia yang merupakan klien Bright and Lorren yang bergengsi. Selama audit,
Frank menentukan bahwa Machine International menggunakan metode pengenalan
pendapatan yang disebut “tagih dan tahan” yang baru saja dipertanyakan oleh
SEC. Setelah banyak melakukan riset, Frank menyimpulkan bahwa metode pengenalan
pendapatan tidaklah tepat untuk Machine International. Ia membahas hal ini
dengan rekanan penugasan yang menyimpulkan bahwa metode akuntansi itu telah
digunakan selama lebih dari 10 tahun oleh klien dan ternyata tepat. Frank
berkeras bahwa metode tersebut tepat pada tahun sebelumnya tetapi peraturan SEC
membuatnya tidak tepat tahun ini. Frank menyadari tanggung jawab rekan itu
untuk membuat keputusan akhir, tetapi ia merasa cukup yakin untuk menyatakan
bahwa ia merencanakan untuk mengikuti persyaratan SAS 22 (AU 311) dan
menyertakan sebuah pernyataan dalam kertas kerja bahwa ia tidak setuju dengan
keputusan rekannya. Rekan itu memberitahukan Frank bahwa ia tidak akan
mengizinkan pernyataan demikian karena potensi implikasi hukum. Namun, ia mau
menulis sebuah surat kepada Frank yang menyatakan bahwa ia mengambil tanggung
jawab penuh untuk keputusan akhir bila timbul suatu permasalahan hukum. Ia
menutup dengan mengatakan, “Frank, rekan harus bertindak seperti rekan. Bukan
seperti meriam lepas yang berusaha untuk membuat hidup menjadi sulit bagi rekan
mereka. Anda masih harus bertumbuh sebelum saya merasa nyaman dengan anda
sebagai rekan.”
Kasus
Audit Kas/Teller
Laporan
Fiktif Kas di Bank BRI Unit TapungRaya
Kepala Bank
Rakyat Indonesia (BRI) Unit Tapung Raya, Masril (40) ditahan polisi. Ia terbukti
melakukan transfer uang Rp1,6 miliar dan merekayasa dokumen laporan keuangan. Perbuatan
tersangka diketahui oleh tim penilik/pemeriksa dan pengawas dari BRI Cabang Bangkinang
pada hari Rabu 23 Februari 2011 Tommy saat melakukan pemeriksaan di BRI Unit Tapung.
Tim ini menemukan kejanggalan dari hasil pemeriksaan antara jumlah saldo neraca
dengan kas tidak seimbang. Setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dan
cermat, diketahu iadanya transaksi gantung yaitu adanya pembukuan setoran kas
Rp 1,6 miliar yang berasal BRIUnit Pasir Pengaraian II ke BRI Unit Tapung pada
tanggal 14 Februari 2011 yang dilakukanMasril, namun tidak disertai dengan
pengiriman fisik uangnya.Kapolres Kampar AKBP MZ Muttaqien yang dikonfirmasi
mengatakan, Kepala BRI Tapung Raya ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di
sel Mapolres Kampar karenamentransfer uang Rp1,6 miliar dan merekayasa laporan
pembukuan.Kasus ini dilaporkan oleh Sudarman (Kepala BRI Cabang Bangkinang dan
Rustian
Martha pegawai BRI Cabang
Bangkinang. “Masril telah melakukan tindak pidana membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam
pembukuan atau laporan maupun dalam dokumen laporan kegiatan usaha, laporan
transaksi atau rekening Bank (TP Perbankan). Tersangka dijerat pasal yang disangkakan yakni pasal 49 ayat (1) UU
No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atasUU No. 7 tahun 1992 tentang
Perbankan dangan ancaman hukuman 10 tahun,” kata Kapolres.
Polres Kampar
telah melakukan penyitaan sejumlah barang bukti dokumen BRI serta melakukan koordinasi
dengan instansi terkait, memeriksa dan menahan tersangka dan 6 orang saksi
telah diperiksa dan meminta keterangan ahli.
AUDIT ASSET TETAP
Sebuah Kasus Audit Asset Tetap
Sebuah Kasus Audit Asset Tetap
Pada Desember 2006 Indonesia Corruptin Watch (ICW) melaporkan kasus dugaan korupsi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam ruislaag (tukar guling) antara asset PT. Industri Sandang Nusantara (ISN), sebuah BUMN yang bergerak di bidang tekstil, dengan asset PT. GDC, sebuah perusahaan swasta.
Dalam ruislaag tersebut PT. ISN menukarkan tanah seluas 178.497 meter persegi di kawasan Senayan dengan Tanah seluas 47 hektar beserta Pabrik dan mesin di karawang.
Berdasarkan hasil temuan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) semester II Tahun Anggaran 1998/1999, menyatakan ruislaag itu berpotensi merugikan keuangan Negara sebesar Rp. 121,628 miliar.
Kerugian itu terdiri dari kekurangan luas bangunan pabrik dan mesin milik PT. GDC senilai Rp. 63,954 miliar, berdasarkan penilaian aktiva tetap oleh PT. Sucofindo pada 1999; penyusutan nilai asset pabrik milik PT. GDC senilai Rp. 31,546 miliar; dan kelebihan perhitungan harga tanah senilai Rp. 0,127 miliar. Selain itu juga ditemukan bahwa terdapat nilai saham yang belum dibayarkan oleh PT. GDC sebesar Rp. 26 miliar
Kasus Audit Umum PT KAI
Menerapkan proses GCG (Good Corporate
Governance) dalam suatu perusahaan Pembedahan kasus-kasus yang telah
terjadi di perusahaan atas proses pengawasan yang efektif akan menjadi
pembelajaran yang menarik dan kiranya dapat kita hindari apabila kita
dihadapkan pada situasi yang sama.
bukan suatu proses yang mudah.
Diperlukan konsistensi, komitmen, dan pemahaman yang jelas dari seluruh
stakeholders perusahaan mengenai bagaimana seharusnya proses tersebut
dijalankan. Namun, dari kasus-kasus yang terjadi di BUMN ataupun Perusahaan
Publik dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa penerapan proses GCG belum
dipahami dan diterapkan sepenuhnya.
Salah satu contohnya adalah kasus
audit umum yang dialami oleh PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI). Kasus ini
menunjukkan bagaimana proses tata kelola yang dijalankan dalam suatu perusahaan
dan bagaimana peran dari tiap-tiap organ pengawas dalam memastikan penyajian
laporan keuangan tidak salah saji dan mampu menggambarkan keadaan keuangan
perusahaan yang sebenarnya.
Kasus PT. KAI berawal dari
perbedaan pandangan antara Manajemen dan Komisaris, khususnya Ketua Komite
Audit dimana Komisaris menolak menyetujui dan menandatangani laporan keuangan
yang telah diaudit oleh Auditor Eksternal. Komisaris meminta untuk dilakukan
audit ulang agar laporan keuangan dapat disajikan secara transparan dan sesuai
dengan fakta yang ada. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kasus PT.
KAI adalah rumitnya laporan keuangan PT. KAI. Perbedaan pandangan antara
manajemen dan komisaris tersebut bersumber pada perbedaan mengenai:
1. Masalah piutang PPN.
Piutang PPN per 31 Desember 2005
senilai Rp. 95,2 milyar, menurut Komite Audit harus dicadangkan penghapusannya
pada tahun 2005 karena diragukan kolektibilitasnya, tetapi tidak dilakukan oleh
manajemen dan tidak dikoreksi oleh auditor.
2. Masalah Beban Ditangguhkan yang
berasal dari penurunan nilai persediaan.
Saldo beban yang ditangguhkan per 31 Desember 2005 sebesar Rp. 6 milyar yang merupakan penurunan nilai persediaan tahun 2002 yang belum diamortisasi, menurut Komite Audit harus dibebankan sekaligus pada tahun 2005 sebagai beban usaha.
Saldo beban yang ditangguhkan per 31 Desember 2005 sebesar Rp. 6 milyar yang merupakan penurunan nilai persediaan tahun 2002 yang belum diamortisasi, menurut Komite Audit harus dibebankan sekaligus pada tahun 2005 sebagai beban usaha.
3. Masalah persediaan dalam
perjalanan.
Berkaitan dengan pengalihan
persediaan suku cadang Rp. 1,4 milyar yang dialihkan dari satu unit kerja ke
unit kerja lainnya di lingkungan PT. KAI yang belum selesai proses akuntansinya
per 31 Desember 2005, menurut Komite Audit seharusnya telah menjadi beban tahun
2005.
4. Masalah uang muka gaji.
Biaya dibayar dimuka sebesar Rp.
28 milyar yang merupakan gaji Januari 2006 dan seharusnya dibayar tanggal 1 Januari
2006 tetapi telah dibayar per 31 Desember 2005 diperlakukan sebagai uang muka
biaya gaji, yang menurut Komite Audit harus dibebankan pada tahun 2005.
5. Masalah Bantuan Pemerintah Yang
Belum Ditentukan Statusnya (BPYDBS) dan Penyertaan Modal Negara (PMN).
BPYDBS sebesar Rp. 674,5 milyar
dan PMN sebesar Rp. 70 milyar yang dalam laporan audit digolongkan sebagai pos
tersendiri di bawah hutang jangka panjang, menurut Komite Audit harus
direklasifikasi menjadi kelompok ekuitas dalam neraca tahun buku 2005.
Beberapa hal yang direfentifikasi
turut berperan dalam masalah pada laporan keuangan PT. KAI Indonesia:
1. Auditor internal tidak berperan
aktif dalam proses audit, yang berperan hanya auditor Eksternal.
2. Komite audit tidak ikut serta
dalam proses penunjukkan auditor sehingga tidak terlibat proses audit.
3. Manajemen (tidak termasuk
auditor eksternal) tidak melaporkan kepada komite audit dan komite audit tidak
menanyakannya.
4. Adanya ketidakyakinan manajemen
akan laporan keuangan yang telah disusun, sehingga ketika komite audit
mempertanyakan manajemen merasa tidak yakin.
Terlepas dari pihak mana yang
benar, permasalahan ini tentunya didasari oleh tidak berjalannya fungsi check
and balances yang merupakan fungsi substantif dalam perusahaan. Yang terpenting
adalah mengidentifikasi kelemahan yang ada sehingga dapat dilakukan
penyempurnaan untuk menghindari munculnya permasalahan yang sama di masa yang
akan datang.
contoh kasus letter of Credits
Kasus L/C Fiktif Bank BNI
Kasus
pembobolan Bank BNI menjadi isu yang mengejutkan masyarakat indonesia
di akhir tahun 2003, dimana Bank BNI mengalami kerugian sebesar Rp 1,7
triliun yang diduga terjadi karena adanya transaksi ekspor fiktif
melalui surat Letter of Credit (disingkat L/C). Kasus ini menjadi
fenomenal karena selain merugikan keuangan Bank BNI tetapi juga berimbas
pada keuangan negara secara macro.
Awal
terbongkarnya kasus menghebohkan ini tatkala BNI melakukan audit
internal pada bulan Agustus 2003. Dari audit itu diketahui bahwa ada
posisi euro yang gila-gilaan besarnya, senilai 52 juta euro. Pergerakan
posisi euro dalam jumlah besar mencurigakan karena peredaran euro di
indonesia terbatas dan kinerja euro yang sedang baik pada saat itu. Dari
audit akhirnya diketahui ada pembukaan L/C yang amat besar dan negara
bakal rugi lebih satu triliun rupiah.
Penjelasan mengenai L/C fiktif BNI tersebut adalah sebagai berikut :
- Waktu kejadian : Juli 2002 s/d Agustus 2003
- Opening bank : Rosbank Switzerland, Dubai Bank Kenya Ltd, The Wall Street Banking Corp, dan Middle East Bank Kenya Ltd.
- Total nilai L/C : USD 166,79 juta & EUR 56,77 juta atau sekitar 1,7 triliun
- Beneficiary/Penerima L/C : 11 perusahaan dibawah Gramarindo Group dan 2 perusahaan dibawah Petindo Group
- Barang ekspor : pasir kuarsa dan minyak residu
- Tujuan ekspor : Congo dan Kenya
- Skim : Usance L/C
Tidak ada komentar:
Posting Komentar